Sekilas Tentang Ta'aruf


Kuliah ta’aruf / orientasi Study dan Pengenalan Kampus (ospek) atau apapun namanya, merupakan agenda akademik yang diselenggarakan di setiap perguruan tinggi di tanah air. Terkhusus perguruan tinggi yang bercirikan agama islam. Kuliah Ta’aruf telah menjadi bagian dari sistem pendidikan yang diarahkan pada tujuan pengenalan lingkungan sosio-kultural kampus terhadap mahasiswa baru. Kuliah Ta’aruf menjadi sangat strategis dalam dimensi akademis dalam pembentukan calon mahasiswa yang memiliki dedikasi tinggi terhadap tugas akademiknya, karena kuliah Ta’aruf dalam rangkaian kegiatan akademik diperkenalkan mulai dari yang sangat besar (cara berpikir ilmiah dan kritis) sampai pada persoalan-persoalan kecil (cara berpakaian dikampus, potongan rambut, dll).
Kuliah Ta’aruf tidak sekedar penganalan lingkungan fisik kampus atau perangkat lunak yang keseharian akan ditemukan didalam kehidupan kampus, atau hanya memperkenalkan jumlah SKS, lama belajar di kampus, jumlah dan karekter dosen, serta cara mendapatkan nilai baik, melainkan Ta’aruf harus dipahami sebagai gerbang dalam memahamkan calon mahasiswa terhadap berbagai persolan yang menjadi isu dan tanggung jawab mahasiswa. Dalam Kuliah Ta’aruf diperkenalkan secara filosofis tugas dan peranan mahasiswa-disamping mengejar jumlah SKS serta status sosial yang disandangnya.
Mahasiswa, dalam stratifikasi modern menempati kelas baru yang disebut dengan kelas menengah, dengan parameter status intelektual atau kualifikasi intelektual di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat indonesia secara historis kelahiram mahasiswa belum begitu lama, baru dimulai awal abad ke-20, yakni sejak didirikannya Fakulatas Teknik di Bandung (ITB sekarang) dan Fakultas kedokteran di Jakarta (UI sekarang). Oleh karenanya kelas menengah di tanah air baru populer pada tahun 60-an, dan sebelumnya khususnya di Pulau Jawa dalam sistem stratifikasi sosial lebih banyak menggunakan polarisasi yang diajukan Cliford Greetz yakni; priyayi, abangan, dan santri.
Maksud dari pengenalan secara filosofis prihal status sosial ini tidak lain untuk menumbuh kembangkan sikap dan semangat seorang mahasiswa yang memahami diri dan lingkungannya tidak dalam sudut pandang farsial melainkan dalam persefektif yang menyeluruh dan penuh rasa tanggung jawab. Di sandanagnya kelas besuka-suka atau tidak, bukan berarti akan melahirkan sistem feodal modern semata, atau memisahkan diri dari kehidupan masyarakat, melainkan harus dipahami bahwa ini adalah sistem sosial yang terbentuk atas dasar kriteria akademis yang sudah seharusnya untuk difungsikan sebagaimana mestinya.
Mahasiswa memiliki tugas dan peranan yang sesungguhnya sama penting dengan mengejar jumlah SKS, yaitu mentransformasikan kehidupan sosial masyarakat. Dalam pengertian, mahasiswa harus mengenal kelas barunya itu dan meleburkan diri dengan kehidupan masyarakat nyata dengan berbagai persolannya. Mahasiswa sebagai komunitas terpelajar dapat melakukan gerakan advokatif sebagai community organizer (pergerak masyarakat) dalam menghadapi dan memecahkan berbagai persoalan di dalam kehidupan masyarakat, tapi tidak lantas kemudian mahasiswa melakukan upaya provokasi terhadap masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kerja-kerja advokatif itu harus diartikan sebagai upaya penyadaran akan hak dan tanggung jawab. Fungsi dan peranan masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk sampai pada tingkatan (maqom) mahasiswa yang memiliki semangat advokatif, diperlukan tahap-tahap tertentu yang dengan sengaja akan membentuk pribadinya itu, selain faktor internal diri mahasiswanya sendiri, faktor eksternal juga turut membentuk jati diri seorang mahasiswa. Lingkungan sosio-kultural kampus sebagai faktor eksternal kehidupan mahasiswa, memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk membentuk mahasiswa berpikiran advokatif, progresif dan kritis. Oleh karenanya pribadi ini juga sedikit banyak akan bergantung pada paradigma pembelajaran yang terdapat di dalam kampus.
Dalam sejarahnya terutama pada era orde baru kampus menjadi institusi yang tak tersentuh, angkuh, dan tercerabut dari akar kultur masyarakat. Kehadirannya pun turut melahirkan polemik baru dalam ruang diskursus para aktivis, hal ini dikarenakan gerakan mahasiswa, dosen dan civitas akademika kampus pada umumnya hanya pada wilayah mengutak-atik teori sambil duduk di ruang perpustakaan tanpa melakukan sedikitpun upaya advokatisasi yang secara langsung bersentuhan dengan berbagai persoalan yang menghinggapi kehidupan masyarakat. Disisi lain kampus dan seluruh perangkatnya menentang anggapan tersebut, sebab mereka memandang bahwa aksi (act) yang dilakukan sebagian akativis di jalanan menurut mereka tidak memberikan begitu banyak perubahan terhadap perbaikan kehidupan sosial masyarakat, mereka cenderung berpandangan bahwa perubahan harus dimulai dari konsepsi-konsepsi paradigmatik yang dikonstruksi oleh berbagai teori, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan publik.
Mencoba untuk tidak berada dalam titik ekstrim dua pandangan di atas. Melainkan mencoba untuk mengungkapkan akar paradigmatik tipologi advokatif kedua kelompok di atas dalam persfektif pembelajaran. Paradigma pembelajaran di kampus sekali lagi, akan dalam persfektif pembelajran. Paradigma pembelajaran di kampus sekali lagi, akan membentuk jati diri atau kedirian (eksistensi) seorang mahasiswa. Kalau pengalaman sejarah memperlihatkan kampus sebagai sosok yang angkuh dan malah menjadi penjaga kelompok pro status quo, itu bisa dibenarkan karena kebanyakan dari intelektual akademisi berada di menara gading semata dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat sesungguhnya, tidak heran apabila mahasiswa dicekoki oleh teori-teori/doktrin-doktrin tertentu yang sesuai dengan ideologi penguasa, tak aneh apabila sedikit saja diantara mereka yang memiliki pandangan kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan. Namun, di sisi lain konservatisme dan ketidak berdayaan kampus dalam mentransformasikan masyarakat, disatu sisi bukanlah pilihan tragis yang diambil, melainkan akses dari kebijakan struktural penguasa yang otoriter terhadap eksistensi kampus.
Dari fenomena sejarah yang muram itulah kiranya perlu menggagas atau menguatkan paradigma pendidikan/pembelajaran di kampus yang akan melahirkan karakter pribadi yang kritis dan progresif. Dalam literatur pendidikan, paradigma ini dikenal dengan istilah paradigma kritis. Paradigma kritis memiliki pemahaman bahwa persoalan yang melilit kehidupan umat manusia di seantero jagad ini, disebabkan oleh struktur kekuasaan, yang menempatkan masyarakat sebagai objek invansi dan pasar bagi perluasan kapitalisme dunia. Oleh karenanya pendidikan kritis diupayakan sebagai cara untuk memanusiakan manusia, dan membebaskannya dari hemenomi struktural.
Paradigma kritis, dalam metodologinya seperti yang dirumuskan Paulo Freire cocok untuk dipasangkan dengan ideologi andargogy pendidikan. Andargogy pendidikan merupakan ideologi pendidikan yang kemudian menjadi metode pembelajaran, yang menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Dalam pandangan kritis, pendidikan dipandang sebagai arena perjuangan politik. Pendidikan terikat dengan keseluruhan dimensi kehidupan; politik, ekonomi, sosial dan budaya. penyelenggaraan pendidikan kritis, berarti melakukan penanaman sikap kritis terhadap berbagai ketidak adilan struktur kekuasaan terhadap masyarakat.
Pendidikan kritis berpandangan, bahwa persoalan kehidupan manusia seperti; kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan peradaban dan sebagainya, adalah persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh ketidak adilan struktur kekuasaan.
Paradigma kritis-dalam kampus-kiranya akan mendapatkan banyak tempat, sebab paradigma ini selain memiliki kecenderungan untuk melahirkan manusia yang kritis dan dinamis, juga akan menjamin lahirnya individu yang memahami dirinya tidak sekedar bagian dari masyarakat, melainkan individu yang memiliki potensi dan kemampuan.
Fenomena akhir-akhir ini, menunjukan Orientasi Stady Pengenalan Kampus (OSPEK) kehilangan nilai strategisnya sebagai momentum interaksi yang dialogis dalam memperkenalkan iklim baru terhadap calon-calon mahasiswa. Yang terjadi kini, ospek dijadikan ajang ”so soan” yang justru secara subtansial tidak bermakna apa-apa.
Tragedi yang mengenaskan terhadap peserta Ospek di STPDN misalnya, cukup dijadikan contoh bagaimana pelaksanaan ospek di tanah air keluar dari koridor sesungguhya. Mahasiswa yang sesungguhnya perlu diajari cara-cara anti kekerasan dan dijauhkan dari sikap premanisme, justru diperlakukan sebaliknya. Keganasan dan arogansi yang dipertontonkan mahasiswa senior, sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan akademik dan sama sekali tidak memberikan manfaat. Lebih dari itu, apa yang ditugaskan pun acap kali tidak ada hubunganya dengan disiplin ilmu yang akan digelutinya (misalnya diharuskan memakai toga dari koran, kaos kaki awrna-warni, pakai pita warna-warni dll).
Cara-cara yang demikian, sesungguhnya tidak akan melahirkan generasi yang disiplin, taat, percaya diri dsb, sebaliknya akan memunculkan generasi berperasaan balas dendam yang mungkin akan ditumpahkan pada generasi berikutnya. Ini artinya, kita akan menyaksikan fragmen cerita tragedi yang berulang-ulang. Realitas demikian menjadi paradoks dengan tujuan semula, yaitu dalam upaya melahirkan pribadi-pribadi pembebas. yang terjadi justru lahirnya penindas-penindas yang tak berperasaan dan tak layak untuk disebut sebagai mahasiswa.